Pelatihan OpenStreetMap untuk “Ciliwung Perspective”
Bertempat di lantai 4 Gedung Pascasarjana Universitas Indonesia Salemba, kami melaksanakan pelatihan OpenStreetMap bersama dengan mahasiswa Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP) UI, mahasiswa Arsitektur UI, Ciliwung Institute, dan Ciliwung Merdeka. Pelatihan OpenStreetMap ini merupakan rangkaian workshop yang dilaksanakan untuk memahami biodiversitas, keberlangsungan, dan ketahanan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan DAS Ciliwung di Jakarta. Dan peta juga merupakan salah satu komponen yang esensial untuk mengembangkan pemahaman lebih mengenai interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Adapun pelatihan dilaksanakan selama satu hari mulai dari pukul 10.30 hingga pukul 17.30 sore. Materi-materi yang disajikan 80% bersifat praktik dan 20% bersifat teori sehingga peserta diharapkan dapat memahami bagaimana proses pengumpulan data lapangan menjadi sebuah peta digital di OpenStreetMap.
Acara dimulai dengan perkenalan kemudian dilanjutkan dengan pemahaman dasar apa itu OpenStreetMap. Pada umumnya, peserta sangat cepat menangkap dan memahami OpenStreetMap, namun ada satu hal yang perlu ditekankan kembali bahwa pada dasarnya OpenStreetMap bukan merupakan software atau tools untuk analisis atau menghasilkan peta tematik (misalnya lokasi tumpukan sampah, lokasi bangunan-bangunan semi-permanen, atau lokasi bangunan liar di bantaran Ciliwung). OpenStreetMap hanya menyediakan data dasar atau peta yang berisikan objek-objek yang sifatnya permanen/jarang mengalami perubahan (misalnya jalan-jalan, bangunan permanen, penggunaan tanah). Tetapi tentu saja kita dapat memanfaatkan peta OpenStreetMap sebagai latar belakang untuk menyajikan analisis atau objek-objek tematis kita. Sayangnya, kalau saja ada waktu untuk mengajarkan QGIS, yaitu software open-source untuk menghasilkan peta hasil analisis/tematik, pasti peserta lebih paham. Sementara fasilitator hanya dapat merujuk pada sumber dimana peserta dapat belajar sendiri lebih dalam 🙂
Sesi yang cukup menarik adalah FieldPapers dimana kita semua dapat melakukan survey lapang tanpa menggunakan GPS. Solusi praktis, murah, dan cukup akurat dibandingkan harus membeli perangkat GPS. Namun, sesi FieldPapers kali ini juga menunjukan kelemahan yang sama di pelatihan-pelatihan sebelumnya. Kelemahan tersebut muncul apabila surveyor bukan berasal dari wilayah yang sedang dipetakan, sehingga mereka butuh waktu untuk orientasi dan memahami posisi mereka sesuai dengan FieldPapers yang mereka dapatkan.
Setelah pelatihan ini, rencananya peserta akan melakukan survey di 3 lokasi yaitu Condet, Bukit Duri, dan Kampung Melayu. Dan hasilnya akan dipublikasikan pada tanggal 8 Maret.
Dokumentasi dapat dilihat di: http://www.flickr.com/photos/heruls/sets/72157641843821195/