Kekuatan Pemetaan Komunitas dan Data Spasial Terbuka
Siapa yang tidak butuh peta? Banyak orang saat ini membutuhkan peta baik dari kalangan akademisi, pemerintah, pendaki gunung, hingga orang biasa yang hanya sekedar ingin mencari petunjuk arah tujuan. Namun sayangnya, peta yang tersedia di Indonesia saat ini jumlahnya masih terbatas dan sangat minim bagi publik untuk mengaksesnya, baik terkendala biaya, maupun jumlah data yang tersedia.
Tahukah kamu bahwa menurut CJ Zandvliet dari Belanda dalam jurnal Holland Horizon tahun 1994, kegiatan survei dan pemetaan di Nusantara telah dilakukan sejak delapan abad lalu? Sejarah juga mencatat peta tentang Indonesia yang pertama adalah peta navigasi yang dibuat pada abad ke-15 ketika Laksamana Cheng Ho dari China melakukan pelayaran di negeri ini. Namun peta-peta tersebut hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja, terutama saat bangsa-bangsa kolonial menjajah negeri ini, peta digunakan sebagai informasi untuk mencari ketersediaan rempah-rempah.
R.W. Matindas dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) mengemukakan bahwa pemetaan secara lebih detail masih belum ada, bahkan berapa jumlah pulau di Indonesia belum juga diketahui. Adalagi kasus dimana data tersedia namun tidak sinkron antara satu dengan yang lainnya. Hal ini yang biasanya membingungkan pihak akademisi yang biasanya dalam penelitian selalu dituntut untuk mencari data yang valid. Kasus ini terjadi dikarenakan biasanya setelah suatu instansi membuat peta, peta tersebut hanya digunakan untuk kalangan sendiri dan tidak pernah dipublikasikan atau hanya disimpan sebagai arsip. Padahal, informasi spasial yang terkandung di dalamnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Salah satu contohnya adalah proyek #petajakarta yang saat ini sedang dilaksanakan, atau untuk respon kemanusiaan lainnya. Data spasial seperti jaringan jalan dan akses ke fasilitas umum juga penting dalam rangka kontingensi pembangunan di Indonesia. Pakar sejarah LIPI Asvi Warman Adam menyatakan bahwa peta merupakan tulang punggung bagi pembentukan suatu negara dan identifikasi suatu bangsa.
Ya, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa OpenStreetMap merupakan salah satu solusi yang tepat untuk melengkapi serta mensinkronisasikan data spasial di Indonesia yang terkotak-kotak. Tidak perlu menjadi seorang kartografer untuk membuat peta di dalam OpenStreetMap, karena sangat mudah dan menyenangkan. Dengan menguatkan konsep keterbukaan dan juga kemudahan dalam mengedit dan menambah informasi spasial, OpenStreetMap merupakan sebuah platform yang luar biasa untuk memanfaatkan pengetahuan lokal setiap masyarakat dan menggabungkannya ke dalam skala yang lebih luas dalam platform yang sama sehingga membentuk peta Indonesia yang lengkap, utuh dan up-to-date.
Masih belum percaya?
Kemarin, Bank Dunia telah mengumumkan melalui blog-nya berkomitmen lebih jauh untuk mendukung citizen mapper atau pembuat peta publik dengan menyatakan “Bank Dunia hanya mendukung pemetaan publik dalam upaya memberikan pengguna untuk mendapatkan akses gratis ke data peta yang mereka buat”. Dan ini merupakan kesempatan besar bagi komunitas bersama komunitas-komunitas lain di seluruh dunia untuk ekspansi dan mengembangkan community mapping atau pemetaan berbasis komunitas melalui OpenStreetMap tentunya.
Bagaimana dengan kualitas datanya?
Berbagai macam studi tentang kualitas data OpenStreetMap telah dilakukan oleh berbagai akademisi, salah satu contohnya adalah Dr. Muki Haklay melalui jurnalnya yang dimuat dalam Environment and Planning B: Planning and Design Vol. 37. Berikut adalah kutipan abstraknya:
Dalam rangka aplikasi pemetaan Web 2.0, contoh yang paling mencolok dari aplikasi geografis adalah OpenStreetMap (OSM). OSM bertujuan untuk membuat peta digital gratis dari dunia dan diimplementasikan melalui keterlibatan publik dalam mode mirip dengan pengembangan perangkat lunak dalam proyek-proyek Open Source. Informasi ini dikumpulkan oleh publik, disusun pada database pusat, dan didistribusikan dalam format digital melalui World Wide Web. Jenis informasi itu disebut ‘Informasi Geografis Sukarela (Volunteered Geographic Information, VGI) oleh Goodchild, 2007. Namun, sampai saat ini belum ada analisis sistematis dari kualitas VGI. Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan menganalisis informasi OSM. Pemeriksaan ini berfokus pada analisis kualitas melalui perbandingan dengan Ordnance Survey (OS) dataset. Analisis ini berfokus pada London dan Inggris, karena OSM dimulai di London pada bulan Agustus 2004 dan karena itu studi ini geografi memberikan pemahaman terbaik dari prestasi dan kesulitan VGI. Analisis menunjukkan bahwa informasi OSM dapat cukup akurat: rata-rata dalam waktu sekitar 6 m dari posisi dicatat oleh OS, dan dengan sekitar 80% tumpang tindih objek jalan tol antara kedua dataset. Dalam waktu empat tahun, OSM telah menangkap sekitar 29% dari luas wilayahInggris, dimana sekitar 24% adalah garis digital tanpa set lengkap atribut.
Kemudian melanjutkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muki Haklay, penelitian yang sama kini sedang dilakukan oleh Dr. Trias Aditya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta untuk menganalisis kualitas data yang dihasilkan oleh peserta KompetisiOSM tahun lalu.
Mulai mendunia!
Tahukah kamu bahwa OpenStreetMap juga telah mendunia? Lewat twitter, coba cari tagar #switch2osm dimana banyak user yang menginformasikan berbagai macam perusahaan maupun instansi yang kini mulai memanfaatkan peta OpenStreetMap. Akhir Februari lalu, banyak pengguna jejaring sosial berbasis lokasi Foursquare terkejut karena keputusannya untuk menggunakan OpenStreetMap. Beberapa layanan internet kini juga sudah mulai menggunakan OpenStreetMap! Ya, OpenStreetMap kini sudah mulai mendunia. Pemetaan berbasis komunitas dan data spasial terbuka secara perlahan sudah mulai diakui keberadaannya dan tentu saja kebenarannya 🙂
Jadi, bagaimana? Berani memulai? Yuk belajar OpenStreetMap!