Tiga Cara Meningkatkan Daya Lenting terhadap Bencana
Berlokasi di Cincin Api Pasifik, posisi geografis Indonesia sangat rentan terhadap bencana. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada kuarter pertama tahun 2015 saja terjadi 695 kejadian bencana dan lebih dari 1,550 kejadian di tahun 2014 (BNPB, 2015). Laporan World Risk Levels 2014 oleh ENU-EHS dan Alliance Development/Bündnis Entwicklung Hilft (BEH) juga mengindikasikan status risiko dan kerawanan bencana di Indonesia sebagai ‘Very High/Sangat Tinggi’ (WRR, 2014). Karenanya, sangat krusial bagi Indonesia untuk mengerahkan upaya yang signifikan dalam mengembangkan daya lenting / ketahanan terhadap kejutan dan tekanan bencana, yakni dengan meningkatkan kemampuan merencanakan, menyiapkan, mengadaptasi, memulihkan dari kerusakan dan mengembalikan kembali kondisi wilayah bahkan lebih baik dari keadaan sebelum terjadinya bencana. Lebih dari ini, menguatkan daya lenting kebencanaan bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa manusia, namun juga meningkatkan penghidupan mereka yang terluputkan dari bencana.
Dari sekian banyak bencana yang terjadi di Indonesia, 97% bersifat hydro-meteorological dengan banjir sebagai jenis bencana yang paling sering terjadi (BNPB, 2015); sedangkan berdasarkan Prevention Web (2014), 43.8% dari seluruh kejadian kebencanaan adalah banjir. Jumlah korban yang diakibatkan bencana juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini diperparah oleh dua hal. Pertama, perubahan iklim mengakibatkan konsentrasi air dan siklus cuaca ekstrim, curah hujan ireguler di satu wilayah dan musim kering berkepanjangan di tempat lain. Kedua, Manajemen Risiko Bencana (DRM) yang inefisien, dimana menurut Bank Dunia (2014) diakibatkan oleh keterbatasan investasi dalam pencegahan dan pengurangan risiko bencana, institusi DRM dengan kapasitas dan pengalaman yang belum ekstensif dan ketidakberadaan kerangka pembiayaan risiko yang komprehensif. Walau bencana yang akan timbul tidak dapat serta-merta dihilangkan, dampak yang ditimbulkan dapat diprediksi secara akurat dan diminimalisir. Mengembangkan kerangka kebijakan DRM sangat diperlukan terutama karena bencana bukan hanya dapat merusak infrastruktur dan merenggut nyawa, namun juga memiliki dampak berkepanjangan terhadap pembangunan. Banjir, misalnya, dapat merusak lahan pertanian dan mengancam ketahanan pangan. Pelajar kehilangan akses pendidikan karena gedung sekolah yang teredam. Dampak akumulutif dari hal-hal tersebut dapat menghambat upaya menyeluruh dalam pembangunan dan terus dapat dirasakan bahkan jauh setelah kejadian bencana terjadi.
Walau posisi geografis Indonesia sesuatu yang tentunya tak dapat diubah, baik perubahan iklim maupun kebijakan DRM dapat ditekan dan/atau dikembangkan. Dan walaupun kedua hal ini begitu besar dan kompleks, masing-masing individu tetap memiliki dampak yang sangat besar dalam memberikan pengaruh atasnya. Upaya untuk membangun daya lenting memiliki beragam aspek, melibatkan bukan hanya pendekatan top-down, melainkan juga secara bottom-up.
Dalam skala mikro, ada setidaknya tiga hal yang dapat dilakukan oleh siapa saja untuk terluput dari dampak bencana. Pertama, advokasi kesadaran. Walaupun emisi karbon yang dihasilkan oleh perseorangan rumah tangga jauh lebih rendah dibandingkan emisi pabrik industri, gas buang kendaraan bermotor dan kebakaran hutan, gaya hidup perseorangan tetap memberikan pengaruh yang besar terhadap apa dan bagaimana barang dan jasa diproduksi. Kesadaran individu secara kolektif dapat menjadi pendorong kuat bisnis dan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan dan praktik ramah lingkungan yang diperlukan untuk menahan kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celsius. Dorongan ini terkulminasi saat masyarakat paham dan sadar bahwa pilihan gaya hidup mereka akan membawa dampak melebihi dari apa yang diperkirakan, seperti siklus cuaca buruk yang diakibatkan perubahan iklim.
Kedua, peran kolektif komunitas dalam upaya pengurangan risiko bencana. Dalam banyak hal, implementasi kebijakan hanya akan efektif jika melibatkan partisipasi kolektif komunitas. Oxfam di tahun 2014 menerbitkan sebuah laporan tentang metode terbaik dalam pelibatan komunitas untuk kesiapsediaan bencana. Laporan ini juga menekankan pentingnya peran wanita dan pemuda dalam peningkatan responsivitas penyebaran informasi advokasi pengurangan dampak bencana (DRR). Pendekatan dari bawah ke atas dimana komunitas turut andil dengan segala kearifan lokal yang telah diturunkan selama beberapa generasi akan mempermudah implementasi kerangka DRM.
Ketiga, ketersediaan data berkulitas. Masalah yang dihadapi oleh pemangku kebijakan kebencanaan seringkali dikarenakan ketidakberadaan data mutakhir dan terpercaya, meliputi data ancaman dan keterpaparan yang diperlukan untuk membuat rencana kontinjensi yang akurat. Jenis data yang terakhir ini adalah dimana HOT (Humanitarian OpenStreetMap Team) mengerahkan upayanya dalam penyediaan data melalui peta partisipatif menggunakan OpenStreetMap dan InaSAFE (Indonesia Scenario Assessment for Emergencies), suatu perangkat lunak bebas-terbuka untuk menciptakan prakiraan dampak dan strategi perencanaan, persiapan dan penanggulangan bencana. Penggunaan perangkat dan teknologi terbuka disertai partisipasi inklusif masyarakat akar rumput dapat mengakselerasi proses pengumpulan data, terutama infrastruktur penting, seperti bangunan dan jalan, serta jumlah populasi dan penggunaan lahan. Melalui keterlibatan dan inovasi masyarakat secara aktif dan informatif, dampak dan risiko bencana dapat dikembangkan untuk meningkatkan daya lenting terhadap bencana.
Tulisan ini telah diringkas ke dalam potongan cerita singkat pada pranala berikut: chirpstory.com/li/329574